Sorga untuk Semua Agama

Ilustrasi : Google Image

Ilustrasi : Google Image

Oleh Imron Supriyadi

Malam itu tidak seperti biasa. Usai shalat isyak ada peringatan Nuzulul Quran di Masjid Al-Karimah Komplek Perumahan Srijaya Indah Palembang, tempat saya tinggal. Saya dan sejumlah jamaah bercengkrama seadanya. Tetapi perbincangan ringan itu kemudian masuk dalam wilayah teologis, yang menyoal kebijakan Tuhan terhadap pahala kebaikan bagi orang diluar Islam yang jelas-jelas tidak pernah membaca syahadat.

“Nggak bisa, semua orang yang tidak membaca syahadat sudah jelas akan masuk neraka. Karena salah satu syarat masuk surga itu harus membaca dua kalimah syahadat,” kata Maskur ekstrim, mengutip sebuah hadits Nabi.

“Kalau membaca syahadat hanya pada waktu menikah, bagaimana?” tanya yang lain.
“Pokoknya membaca syahadat pasti masuk surga. Titik! Tinggal masalahnya kapan, itu bukan urusan kita. Tapi kalau tidak membaca syahadat mana bisa masuk surga. Sebab kunci pembuka surga itu syahadat! Jadi yang tidak pernah membaca syahadat tiak punya kunci masuk membuka pintu surge!” Maskur begitu keukeh memegang pendapatnya.

“Kalau begitu Tuhan tidak adil, kalau yang berhak masuk surga hanya orang muslim. Bagaimana orang diluar Islam yang berbuat baik? Apa tidak ada pertimbangan lain dari Tuhan? Mana keadilan Tuhan pada hamba-Nya?” sergah lainnya lagi.

“Mas, surga dan neraka itu, menurut saya bukan wilayah kita. Tugas kita hanya menjalani. Masalah nanti kita akan masuk surga atau neraka, itu bukan wewenang kita,” saya mencoba meredam perdebatan yang agak meninggi.

“Kamu ini bagaimana! Jelas-jelas Tuhan sudah berjanji akan memberikan surga kepada orang yang berbuat baik dan beramal shaleh dengan pahala dan surga! Kok kamu malah bilang semua itu wewenang Tuhan!” Maskur sepertinya agak emosi dengan argumentasi saya.
“Sekarang saya Tanya, yang berjanji akan member surge dan neraka itu siapa?”
“Ya, Tuhan, siapa lagi! Pertanyaanmu kok aneh,” Maskur kian kesal.

“Maksud saya begini, Pak Maskur. Karena yang berjanji memberi surga itu Tuhan, jadi itu bukan kewenangan kita. Menurut saya, tentang pahala, surga dan neraka ya menjadi hak mutlak Tuhan. Sementara kita hanya menjalankan saja, sebab hasil akhirnya pada Sang Penguasa bumi dan langit,” kata saya menjelaskan ulang.

“Kok kamu jadi apatis begitu?” kata Dahri, salah satu warga lainnya.
“Ini bukan apatis. Maksud saya, kita menyerahkan pada Tuhan, bukan berarti kita berpangku tangan, tetapi masih melakukan kebaikan di dunia. Tetapi yang saya katakan itu pahala, surga dan neraka itu milik Tuhan, bukan milik kita” tukas saya.

“Jadi menurut kamu surga itu hak semua orang?” tanya Maskur setengah menyerang saya.

“Menurut saya, siapa yang berhak menentukan siapa yang akan masuk surga dan neraka ya Tuhan, karena Dia lebih tahu segalanya dari pada kita. Kita serahkan saja sama Dia, kan beres. Lagi pula, setiap orang yang berbuat baik menurut saya ya berhak masuk sorga, tidak pandang bulu! Soal prosesnya bagaimana, itu menjadi kewenangan yang menciptakan surge dan neraka,” kata saya ingin mengakhiri perbincangan, tapi gagal.

“Wah, pikiran kamu itu keblinger. Sampean ini kan sarjana agama kok malah berpikir nyeleneh seperti itu. Jangan-jangan kamu sudah masuk aliran sesat,” Maskur rada kesal.

“Pak Maskur, di negeri ini ada dua aliran. Pertama aliran sesat, kedua aliran sesaat, tinggal kita mau pilih yang mana?” saya berseloroh.

Sejumlah jamaah yang lain ada yang tertawa. Tetapi tidak bagi Maskur. Ini menjadi persoalan serius.

“Kalau saya setuju dengan kamu,” kata Bayu, salah satu mahasiswa di Palembang. “Surga itu memang kebijakan Tuhan. Jadi semua berhak masuk surga, tidak pandang apakah muslim atau non muslim. Lagi pula kita kan tidak tahu bagaimana Tuhan melakukan seleksi siapa-siapa yang akan masuk surga!” Bayu menimpali setengah meringankan beban moral saya.

“Pak Ketua, model dua orang seperti ini jangan lagi diberi kesempatan bicara di depan jamaah. Bisa hancur jamaah masjid ini,” Maskur mencari pembelaan pada pengurus masjid, yang berada tidak jauh dari hadapan saya.

“Kalimat saya tadi terputus, belum selesai. Saya melihat kalau surga itu memang hak setiap mahluk. Bukan hanya manusia, tetapi hewan pun juga berhak masuk surga. Kalau binatang saja diberi hak masuk surga, apalagi manusia. Tidak pandang apakah muslim atau non muslim,” kata saya melanjutkan kalimat sebelumnya.

“Tapi mereka itu tidak pernah membaca syahadat. Belum lagi kekafirannya mereka. Itu kan dosa setimpal yang membuat mereka tidak berhak masuk surga!” ujar Hamam, salah satu remaja masjid yang baru belajar agama satu pekan silam di pesantren kilat.

“Kalau Tuhan tidak memberi jatah surga pada orang berbuat baik, meski bukan muslim, menurut saya Tuhan tidak adil. Kasihan Thomas Alfa Edison dan tokoh lain para penemu ilmu teknologi, seperti mesin Uap, James Watt dan lainnya. Mereka sangat berjasa bagi kita. Dengan ditemukannya listrik, bukan hanya ribuan tetapi jutaan manusia bisa makan dari hasil mengelola listrik. Sampai-sampai ada PLN. Apa itu jasa yang tidak akan bernilai di mata Tuhan. Kan janji-Nya, sebiji Dzarrah pun akan memiliki nilai pahala. Jadi mereka juga berhak masuk surga meski bukan muslim,” kalimat saya menggelontor seperti bendungan pecah. Tak peduli wajah Maskur yang bersungut tidak setuju.

“Waduh, hancur ! hancur! Kalau sarjana agama sekarang berpikir seperti itu. Percuma sam[ean disekolahkan pesantren, kalau ternyata sampean malah keblinger. Jadi untuk apa Tuhan menciptakan nereka, kalau semua orang berhak masuk surga?!” sergah Maskur yang dari tadi menatap saya tajam.

“Justeru itu, Pak Maskur! Neraka itu rahmat, bukan siksaan bagi para pelanggar peraturan Tuhan di bumi,” kata saya lagi.

“Kamu ini kok enak saja menterjemahkan surga dan neraka tanpa dalil yang jelas. Jangan macam-macam menfasirkan ayat. Tuhan sudah jelas mengatakan, siapapun orangnya yang berbuat jahat di muka bumi akan disiksa di api neraka. Itu ayat lho, bukan omongan saya! Gawat sampean ini!” Maskur tambah kesal.

“Maksud saya begini, Pak. Neraka sebagai rahmat bagi semua, termasuk kita itu sengaja diciptakan untuk melebur dosa-dosa hamba, yang dosanya tidak bisa dilebur dengan api dunia. Gumpalan dosa tadi hanya bisa dilebur dengan api neraka. Tujuannya, agar Tuhan bisa mengambil kebaikan yang ada dalam diri kita, sekecil apapun, termasuk jasa besar Thomas Alfa Edison yang sudah menemukan listrik. Jadi neraka itu bukan siksaan. Itulah bentuk keadilan Tuhan, siapapun yang berbuat baik berhak mendapat surga. Tentang prosesnya bagaimana, itu wewenang Tuhan,” kata saya menatap Maskur.

“Sampaean itu dapat dari mana penjelasan seperti itu. Nanti malah bubar kalau kamu jelaskan seperti itu,” Maskur masih kesal.

“Kita ini hanya bisa berbuat dan menjelaskan kapada siapapun yang mau mendengarkan. Soal apakah nanti orang itu akan paham atau tidak, itu bukan wilayah manusia. Sebab hidayah itu urusan Tuhan. Kita hanya membuka. Nabi saja tidak bisa memaksa pamannya ketika hendak meninggal untuk membaca dua kalimah syahadat, apalagi kita,” saya menutup pembicaraan malam itu.

Pak Maskur tercenung. Satu hari setelah malam itu, dia datang kepada saya. Pagi itu ia agak lain dari biasanya. “Mas, dimana sampean berguru? Mbok saya diajak,” katanya. Saya hanya tersenyum.

Palembang 28 Agustus 2010

Tinggalkan komentar