Ikan Louhan, Goyang Inul dan Potret Kebudayaan Kita

berbagai-jenis-ikan-louhan

Ilustrasi : satwapedia.com

Sebenarnya, saya agak risih berbincang soal-soal yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dibicarakan. Apalagi, kalau persoalan yang dibicarakan itu, sekedar sebuah potret pluralitas budaya, yang sebenarnya tidak akan terlalu membawa pengaruh banyak pada tatanan kebudayaan dan kesadaran ke-berdaban kita. Inul misalnya.

Sampai saat ini, goyang “ngebor”-nya, sudah menjadi bahan perbincangan di seluruh kalangan. Sejak abang becak, tukang sayur, menteri, bupati, gubernur, ulama, sampai presiden, terhegemoni oleh Inul.
Ini sama halnya dengan masuknya Ikan Louhan, yang pada bulan-bulan terakhir juga ikut mewarnai dan mengisi waktu luang kita. Sehingga, terkadang kita kemudian lupa dengan persoalan-persoalan yang lebih penting untuk dibicarakan, ketimbang harus mendebatkan soal goyang “ngebor” Inul dan Ikan Louhan.

Masalah Inul, sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Hanya kebetulan saja, dalam sebuah event, seorang suami presiden (Taufik Kiemas) “memeluk” seorang artis “ngebor”, lalu media massa memberitakan, lantas dibaca, didengar dan ditonton oleh jutaan manusia.

Dalam konteks pers, adegan itu menjadi bernilai berita besar, karena yang melakukan “pelukan” adalah seorang suami Presiden. Kalaupun tiba-tiba, Inul-sebelum menjadi  “artis goyang ngebor” kemudian bertemu dengan anda atau saya, lalu kita berjoged bersama, maka tidak akan mungkin menjadi besar.

inul

Ilustrasi : Google Image

Bahkan, sebagai seorang jurnalis, saya juga tidak akan tertarik dengan berita-berita “goyang ngebor’’-nya Inul. Sebab, sekali lagi, persoalan goyang “ngebor” hanya persoalan pluralitas budaya, yang sebenarnya tidak mesti diperpanjang untuk ditonton atau juga untuk dibicarakan. Semuanya hanya sesaat dan temporal.

Hadirnya Inul dalam kancah kebudayaan kita, sama halnya ketika Palembang dirasuki oleh maraknya Ikan Louhan. Jauh sebelumnya, kita hanya memperbincangkan Ikan Betok, Patin, Belido, Cupang dll. Tetapi, ketika tiba-tiba muncul Ikan impor Louhan,  masyarakat kita kemudian berbondong-bondong bicara soal Ikan Louhan. Bahkan, seorang pejabat Sumsel pun, memberi cindera mata seekor Ikan Louhan kepada pejabat lainnya. Katanya, sebagai kenang-kenangan.

Antara Inul dan Ikan Louhan memang jauh untuk dihubungkan. Selain berbeda alam, antara Inul dan Ikan Louhan juga tidak memiliki spicies yang sama. Dan keduanya, tidak mungkin bisa tampil bareng, sebagaimana Inul dan Taufik Kiemas.

Tetapi, dalam konteks kebudayaan, baik Inul atau Ikan Louhan, sebenarnya sama-sama telah berhasil mengkooptasi pola pikir kita, menghegemoni lintasan akal pikiran kita, sehingga, dengan munculnya Inul dan Ikan Louhan, kita bisa lupa “segala-galanya”. Ironis lagi, kedua mahluk itu, telah membuat kita lupa dengan yang mencipta Mahluk.

Dan saya pikir, fenomena Inul dan Ikan Louhan akan sangat sulit untuk ditandingi oleh Partai Politik apapun, dalam mengkondisikan tatanan kebudayaan kita. Saya juga agak khawatir, kalau tiba-tiba Inul dan Ikan Louhan membuat koalisi, atau semacam Aliansi dan membuat sebuah Partai Politik, dengan mengembangkan ideologi  goyang ngebor.

cencuklasik

Ilustrasi : satwapedia.com

Bagaimana saya tidak saya khawatir? Ikan Louhan dan Inul adalah dua mahluk yang hidup di dalam dua alam. Satu di darat, satu lagi di air. Akan sangat dahsyat kekuatannya, jika kedua alam ini, menyatu secara kolaboratif, dan menciptakan satu sistem baru, lantas melakukan kudeta.

Mungkin, analogi ini akan anda anggap sebagai bagian kekonyolan. Tapi, dari keonyolan ini, sebenarnya bisa menjadi satu petikan hikmah, dan memunculkan satu pelajaran awal, bagaimana sebenarnya kita juga harus menata iklim dan pluralitas kebudayaan kita, dengan belajar dari kemungkinan terjadinya koalisi antara Inul dan Ikan Louhan. Dengan kata lain,  saya hanya ingin mengatakan, iklim kebudayaan kita, cenderung memilih berbeda dan mempertahankan perbedaan-perbedaan itu, tanpa mencari titik temu, yang seharusnya bisa dibangun secara bersama-sama, seperti halnya antara Ikan Louhan dan Inul.

Simpelnya, realitas masyarakat kita ini memang memilih untuk mengatakan si Fulan tidak bermartabat, melanggar norma-norma agama dan hukum,  lantas menuduh si Fulan selalu dalam posisi salah, sekalipun persoalannya hanya sangat sederhana ; perbedaan pandangan, perbedaan disiplin ilmu, lantas melarang-larang kebebasan ber-ekspresi.

Dengan logika-logika yang sangat pragmatis seperti ini, kemudian memunculkan satu penilaian yang sangat subjektif terhadap pluralitas kebudayaan, tanpa melihat sisi lain di balik  goyang “ngebor”-nya Inul.

Saya  hanya ingin mengatakan, lebih baik Inul terus bergoyang diatas panggung, untuk menghidupi keluarganya yang pas-pasan, ketimbang Inul harus melacur atau mencuri uang rakyat, lalu berlari dari jeratan hukum. Maka saya juga mengatakan aneh pada realitas kebudayaan kita, seorang koruptor, pelacur politik, para pedagang aset nagara,  atau juga konglomerat hitam, tidak pernah dilarang-larang untuk pentas di panggung-panggung, sementara Inul, anak yang baru beranjak karir-nya harus di jegal, dihujat dan di-halal-haramkan.

Padahal, kalau bicara persoalan kejahatan dan bahaya, koruptor dan sejenisnya, justeru lebih berbahaya dari goyang “ngebor” Inul, atau bahkan lebih berbahaya dari Sumanto pemakan mayat sekalipun. Kenapa? Sebab, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan, atau juga Sumanto, tidak lain disebabkan dari terbiarnya para koruptor untuk melenggang dan bebas duduk di panggung politik, tanpa kejelasan hukum yang jelas, sekalipun ia adalah seorang terdakwa.

Sementara Inul, atau juga Ikan Louhan, sekalipun menjadi bagian yang pluralitas yang sudah menghegomoni, tetapi  akibatnya tidak akan separah ulah para koruptor.

“Lho, Inul itukan melanggar moral orang-orang timur. Haram! Dan tidak sesuai dengan iklim kebuadayaan kita”, Begitu Kata temen saya.

Inul, bagi saya, sama dengan  perumpamaan filosofi Gede Prama, ketika seseorang yang tiba-tiba melempar tai kerbau ke rumah saya dan rumah tetangga. Tetangga saya marah-marah. Sementara saya tidak. Sebab, sekalipun saya tahu yang dilemparkan itu tai kerbau, tetapi, saya melihat, ada positifnya. Secara kebetulan saja, di belakang rumah saya, ada sebatang pohon di belakang rumah, yang sedang butuh pupuk, dan salah satu bahan pupuk itu adalah tai kerbau.

Tetapi inilah potret kebudayaan kita. Kita sering memilih menghujat persoalan-persoalan sederhana, yang sebenarnya dapat diatasi oleh kecerdasan intelektual kita, kecerdasan emosional kita, dan kecerdasarn spiritual kita. Dari pada harus membiacarkan persoalan yang lebih penting, seperti pemiskinan dan kemiskinan, keterbelakangan, pembodohan sistem. Kalau ragam persoalan besar masih ada di hadapan mata kita, kenapa kita kemudian harus disibukkan oleh urusan goyang “ngebor”-nya Inul.

Akhirnya, saya hanya mengajak anda untuk memilih, melarang Inul manggung dan bergoyang demi keluarganya, atau membiarkan kita, untuk terus-menerus diwakili oleh orang-orang terdakwa, dan dipimpin oleh manusia-manusia yang mungkin moralnya lebih buruk dari pada Inul dan Ikan Louhan?**

Palembang, 1998

Tinggalkan komentar