Baju Bengkel Nasional Peradilan Kita

Ilustrasi : Google Images

Ilustrasi : Google Images

Pada sebuah kesempatan di tahun 2008, saya berbincang ringan dengan Kiai Abdul Madjid, Guru Ngaji saya di Tanjung Enim Sumatera Selatan. Kali itu, kami baru saja selesai mendengarkan sebuah ceramah di Masjid Jamik PTBA Tanjung Enim. Karena momen-nya masih berbau peringatan Maulid Nabi Muhammad, spontan saja pembicaraan masih berkutat pada kelahiran Sang Nabi itu.

Perbincangan kami sampai pada pertanyaan: mengapa Muhammad Saw mendapat serangan keras dari kaum kafir quraisy saat di Kota Makkah?  Padahal, kedatangan Muhammad Saw kala itu membawa misi kebaikan bagi umat sedunia, bukan untuk umat muslim semata.

Apakah karena kaum kafir quraisy menolak perbaikan moral? Atau karena Muhammad Saw mengajak mereka bertuhan-kan Allah Swt? Atau karena Muhammad Saw datang membawa lebel Islam sebagai pengganti keyakinan mereka, sementara mereka sudah lebih dulu menyembah berhala : Latta, Uzza dan Manatta?

“Di satu sisi, kisah itu ada benarnya. Karena itulah yang tampak di permukaan sejarah,” ujar Kiai Madjid mulai menjelaskan. Pada perbincangan itu sedikit banyak terungkap, bagaimana penolakan keras kaum kafir quraisy terhadap ajaran Muhammad Saw ketika itu.

Kiai Abdul Madjid di teras sebuah masjid

Kiai Abdul Madjid di teras sebuah masjid

Intinya, ujar Kiai Madjid, penolakan itu karena ajaran Muhammad Saw bukan karena Islam-nya, tetapi karena ajaran Muhammad Saw telah “menabrak kemapanan” ajaran mereka. “Ini murni bukan karena mereka menolak keyakinan dari ajaran Muhammad!” tegasnya.

Kilas sejarah menyebut, jauh sebelum kedatangan Muhammad Saw, di Kota Makkah telah berlangsung perbudakan. Kaum perempuan tidak mendapat kehormatan sebagaimana ajaran Muhammad Saw. Siapa dan kapan saja, dapat seenaknya membeli perempuan sebagai budak. Penguasaan asset di Kota Makkah juga dikuasi oleh suku-suku ternama ketika itu. “Kala itu halal dan haram bukan lagi masalah. Ini berbeda dengan ajaran Muhammad,” tambahnya.

Sistem seperti itu, bagi kaum kafir quraisy kala itu sudah menjadi tradisi yang kuat, sehingga tak sesiapa yang boleh mengganggu apalagi mengubahnya. Siapapun yang berani menentang tradisi kafir quraisy akan dipenggal.

Sementara, Muhammad Saw datang membawa ajaran yang sangat bertolak belakang dengan semua itu. “Jadi bukan karena lebel Islam-nya, sehingga mereka menolak, bukan itu! Tapi nilai ajaran Muhammad yang tidak sesuai dengan tradisi dan sistem mereka sehingga Muhammad ditolak. Ajaran Muhammad dianggap mengganggu ajaran mereka. Kalau dalam istlah sekarang, menimbulkan kegaduhan,” tegasnya.

Kiai Madjid kemudian membuat sebuah analogi baju bengkel. “Ya sama saja dengan baju bengkel-lah,” ujarnya, yang sempat membuat saya bertanya : apa hubungannya dengan ajaran Muhammad?

Para pekerja di bengkel, kata Kiai Madjid, sekalipun diberi baju bersih, diseterika rapi dan berbau wangi, paling-paling akan dipakai saat dia sudah selesai pekerjaan dan hendak pulang.

“Itu artinya mereka hanya mau memakai baju yang bagus setelah mereka di rumah. Tapi saat mereka bekerja, baju bersih yang dia pakai akan segera diganti dengan pakaian yang kotor bercak oli, bau asap knalpot, debu dan lainnya. Dan itu memang sudah jadi tradisi mereka. Mana mau pekerja di bengkel itu saat bekerja pakai pakaian berdasi? Apalagi pakai parfum! Mereka memilih baju dinasnya yang kotor, apek dan kusam. Jangan sekali-sekali kamu paksa mereka untuk pakai baju bagus saat bekerja, mereka akan menolak. Kalau dipaksa mereka akan marah pada kita!” ujar Kiai Madjid.

Kali itu saya mulai nyambung. Baju bengkel hanya sebuah analogi, betapa kebiasaan “kotor” di bengkel akan sepadan dengan tradisi kaum kafir quraisy di Kota Makkah yang menolak ajaran Muhammad. Mereka tidak ingin mengganti “baju bengkel”-nya dengan “baju baru yang dibawa Muhammad Saw.

Peradilan Kita dan Baju Bengkel Nasional

Pun demikian halnya yang terjadi pada sistem peradilan kita. Mimpi hari ini tentang bagaimana “Mewujudkan Peradilan Bersih yang Beretika dan Profesional” merupakan sebuah desakan moral, yang menurut saya bukan baru kali ini saja, tetapi sudah berdasa warsa. Tetapi hingga kini cita-cita ini tetap menjadi utopia (hayalan) meskipun wajib kita dengungkan.

Pada realitasnya sistem peradilan kita berhadapan dengan tradisi “baju bengkel nasional” di sejumlah lembaga, baik peradilan itu sendiri atau lembaga lainnya. Akibatnya, seorang Presdien Jokowi sekalipun, harus mengurut kening ketika berhadapan dengan segala macam “sistem kafir quraisy” di sejumlah lembaga peradilan.

Contoh kasusnya sangat banyak, diantaranya dugaan adanya mafia pelabuhan Pelindo II. Ini bisa menjadi sampel nyata, betapa tradisi “baju bengkel” itu demikian kuat dan melekat di lembaga itu.

Tak ayal, Jokowi yang kemudian menggunakan tangan bersenjata Kabareskrim Budi Waseso (Buwas), kemudian terpental juga. Buwas dianggap telah membuat kegaduhan. Kalimat menimbulkan “kegaduhan” menurut saya absurd yang sulit diterjemahkan.

Seharusnya, pada kondisi sistem di Pelindo II yang sudah terlanjur memakai “baju bengkel” sangat wajar jika harus diciptakan kegaduhan.  Dalam kasus ini, saya mengibaratkan, Buwas dan pasukannya ibarat anak-anak yang keliling kampung untuk membangunkan sahur saat Bulan Ramadhan. Mereka memang harus membuat “kegaduhan” supaya orang-orang bangun dari tidur dan keluar dari selimutnya lalu sahr bersama untuk menunaikan puasa di esok harinya.

Tapi Buwas bukan nabi, apalagi malaikat. Sistem negeri ini, yang juga sudah berselimut “baju bengkel nasional” memaksa Buwas hengkang atau di-paksa hengkang. Inilah risiko Buwas yang kala itu sedang ingin “membagunkan orang untuk sahur” tetapi faktanya banyak orang yang memang tidak ingin “berpuasa” sehingga Buwas yang dipaksa bergeser. Semoga Buwas tidak mau mengenakan “baju bengkel” ketika di Badan Narkotika Nasional (BNN) yang kemudian ia tempati.

Demikian halnya ketika Komisi Yudisial (KY) melalu Perwakilan Komisi Yudisial (PKY) di Sumsel sedang dan ingin memperbaiki sistem peradilan. Kali ini, bahkan sejak dulu kita sudah masuk dalam  “baju bengkel” nasional.

Kasus Memalukan Akil Mochtar

Kasus lainnya, bagaimana lembaga terhormat sekelas Mahkamah Konstutitusi (MK), akhirnya cacat oleh seorang Akil Mochtar yang tertangkap bermain dengan sejumlah kepala daerah. Kasus lain yang serupa  sangat banyak dibaca di sejumlah media, termasuk kasus terbaru di Musi Banyuasin.

Kasus  di sekitar Kita

Hal lain yang seringkali sulit dihindari adalah sidang tilang di pengadilan bagi para pengendara sepeda motor. Hampir setiap kita memilih “deal di lokasi” dengan aparat polisi ketimbang harus ditilang dan ikut menghadiri pengadilan dalam dua pekan ke depan.

Demikian juga ketika salah satu keluarga kita terlibat kasus hukum tertentu. Sebagian kita memilih “membayar” aparat hukum dari pada tunduk dan patuh pada etika hukum yang profesional. Kalauun tidak menyuap, selalu ada upaya untuk keluar dari jeratan hukum.

Deretan realitas itu kemudian mengundang tanya. Sebenarnya siapakah yang sudah demikian lekat mentradisikan “berbaju bengkel?” kita atau aparat hukum kita?

Laten dan Kronis!

Bertolok dari hal diatas, saya menilai kondisi peradilan kita saat ini sudah laten dan kronis! Meminjam istilah Fuad Bawazier dalam kasus Madia Pelabuhan. Sepertinya, dalam upaya mewujudkan “Peradilan Bersih yang Beretika dan Profesional,  kita perlu sosok “Khalid bin Walid” yang siap menebas leher siapapun yang menentang kebaikan, termasuk kita yang wajib menebas egosime kita untuk keluar dari jeratan hukum ketika salah satu keluarga kita terkena kasus hukum. Lantas siapakah diantara kita yang akan menjadi salah satu murid dari Khalid bin Walid itu?

Palembang, 18 September 2015

 Keterangan : Tulisan ini disampaikan pada acara pertemuan tokoh lintas agama dan pentas musik kerakyatan yang diselenggarakan Penghubung Komisi Yudisial Sumsel (Satu Dasawarsa Komisi Yudisial di Palembang dengan Tema “Ayo Kerja Wujudkan Peradilan Bersih yang Beretika dan Profesional” pada Hari Sabtu, 19 September 2015 di Lapangan Parkir Kampus Universitas Sjakyakirti Palembang Jalan Sultan Moh Mansyur Palembang (Tangga Buntung).

Tinggalkan komentar