Kehormatan Slilit

Oleh Imron Supriyadi, Jurnalis

Orang jawa menyebutnya slilit. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “slilit” juga tidak kita temukan, apalagi bahasa inggris. Di KBBI, kita malah diminta mengusulkan kata “slilit” sebagai masukan untuk perbendaharaan kata yang belum terdeteksi KBBI hingga sekarang.

Padahal kata “slilit” sudah terkenal berdasa-warsa di negeri ini, terutama di bagi masyarakat jawa. Dicari di Google, kata “slilit” berpadupadan dengan kiai : Slilit Sang Kiai, salah satu kolom Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), yang kemudian menjadi judul bukunya.

Saya tidak bisa bayangkan, sekiranya Cak Nun tidak pernah menulis Slilit Sang Kiai, sekaliber Google pun tidak pernah bisa mendeteksi arti slilit. Begitulah keterbatasan ciptaan manusia (google), posisinya masih di bawah akal manusia, ciptaan Tuhan.

Slilit itu lebih umum diartikan tahi gigi. Di KBBI, tahi gigi dimaknakan : kotoran yang melekat di sela gigi. Ya, itulah yang disebut : sli-lit.

Siapapun kita, apapun jabatannya, berapapun hartanya, dimanapun tinggal, sudah pasti slilit pernah singgah di sela giginya. Slilit ini bentuknya bisa bermacam ragam. Bisa potongan nasi, sayuran, kulit padi akibat mencuci berasnya kurang bersih. Atau, slilit juga bisa dalam bentuk cuilan daging tipis, yang sangat tidak layak dijadikan lauk untuk satu keluarga. Komposisinya sangat variatif. Bisa gepeng, bisa lonjong, bulat, panjang 1/2 atau 1 cm dan lainnya.

Sampai saat ini, belum seorang profesor pun yang menemukan teori bagaimana proses masuknya slilit ke sela gigi. Semua berjalan secara alamiah. Kalau Anda ingin membuktikan, silakan sesekali mencoba memasukkan slilit yang Anda keluarkan, lalu diselipkan kembali. Kalau berhasil, berarti kali itu, Anda sudah menjadi profesor Slilit.

Slilit, selain di sela gigi tidak jarang bersemayam di gigi growong (berlobang). Bila dibiarkan, kian hari kian besar dan kian bau. Praktis jumlah slilit yang masuk akan semakin banyak, dan itu sangat mengganggu. Kalau dibawa ke Puskesmas, dokter akan segera mencabut untuk kemudian menambal nya. Itupun hanya bertahan 3 sampai 4 tahun. Setelah itu, tambalan akan rapuh, dan gigi akan kembali berlobang. Otomatis, ruang-ruang kosong ini lagi-lagi menjadi tempat bersembunyinya slilit.

Barangnya memang kecil. Tapi slilit ini cukup menganggu. Maka, demi kenyamanan pelanggan, di hampir setiap rumah makan menyediakan tusuk gigi. Bahasa prokemnya “dongkrak” gigi. Kalau di rumah kita, agak jarang yang menyiapkan tusuk gigi.

Kalau di rumah sendiri ada slilit terselip, akan berapa ratus kali lidah kita memutar-mutar untuk mengusir slilit? Tak selesai dengan lidah, kita kumur-kumur. Tak hilang juga, kita mencari sapu lidi. Atau minimal lidi korek api dipatahkan, lalu dimasukkan ke lokasi tempat slilit itu bersembunyi. Maka menarilah jemari kita untuk mengotak-atik si slilit yang asyik berteduh disela gigi kita.

Perilaku kita terhadap slilit, adalah watak dasar betapa kita tidak senangnya kita pada slilit. Padahal slilit hanya serpihan benda yang mungkin ingin bersemanyam sesaat saja, di sela-sela gigi kita. Dia akan pergi saat kita gosok gigi, malam atau besok paginya. Kecuali bagi yang tidak suka gosok gigi, ini pengecualian.

Nasib slilit, bukan seperti Jaelangkung : datang tak diundang, pulang tak diantar. Slilit : datang karena diundang, sudah datang ditendang-tendang. Keberadaan slilit di sela gigi sangat tidak diharapkan, apalagi bagi penderita sakit gigi, bencinya bisa berlipat-lipat.

Begitulah perjalanan dan nasib slilit. Ia akan selalu diusir saat menempel di sela gigi. Bila menyelip, slilit selalu dicungkil-cungkil dengan tusuk gigi (seperti seseorang mendongkrak mobil mogok yang akan mengganti ban serep). Tujuannya, agar slilit segera hilang dari sela gigi. Sangat menggangu kenyamanan.

Kalau dibiarkan bersembunyi, lambat laun akan menimbulkan hawa busuk yang sangat tidak sedap. Pergaulan, dan obrolan juga akan terganggu, karena udara yang keluar dari mulut sudah dikuasai oleh bangkai slilit yang terlalu lama mengendap di sela gigi.

Tapi nasib slilit tak selalu buruk. Sebab sebagia kita, setelah mencungkil-cungkil dan mengusir-usir slilit dari sela gigi, sebelum dibuang, biasanya slilit mendapat ciuman yang indah. Tanpa sadar, diantara sebagian kita sesekali akan selalu mencium bau slilit lebih dulu, setelah kemudian kita membuangnya di asbak, atau di lepas lewat mulut dengan ganjalan lidah. Ternyata kebencian kita pada slilit, selalu diakhiri degan keindahan, meskipun setelah itu dicampakkan.

Dalam kehidupan, mungkin diantara kita sesekali tanpa sengaja pernah juga merasa menjadi slilit bagi keluarga, tetangga, dan masyarakat, atau bagi tatanan kebangsaan kita. Tapi begitulah takdir bagi slilit. Semua ia jalani dengan keikhlasan atas perntah-Nya.

Kehormatan dan jasa slilit, hanya akan terkuak ketika ada kotoran masuk ke sela gigi. Kita kemudian berusaha mengusirnya. Tapi, dari kebencian banyak orang terhadapnya, slilit juga banyak menebar kebahagiaan perjalanan hidup manusia.

Slilit, telah melahirkan ratusan direktur, manajer dan jutaan buruh. Berapa puluh alat produksi dan teknologi pembuat tusuk gigi? Berapa juta buruh yang bisa makan dari hasil kerja di pabrik tusuk gigi? Berapa banyak pengangguran terserap karena adanya Slilit? Karena slilit, berapa banyak berdiri pabrik sikat gigi, odol, pewangi mulut, pembasmi kuman untuk kumur-kumur dan lainnya? Berapa banyak plastik, kertas dan kotak dibuat untuk mengemas tusuk gigi? Berapa banyak lagi sopir, distributor, yang juga hidup atas jasa slilit?

Kalau slilit yang kecil, bau, yang selalu dibenci, dicungkil-cungkil, diusir-usir dan dibuang-buang sesukanya oleh kita, ternyata menebar manfaat bagi banyak orang? Lalu bagaimana dengan kita?**

Jl. Seruni-Palembang, 31 Desember 201

Tinggalkan komentar