Ayat-Ayat Kemacetan

Ilustrasi : Google Image

Ilustrasi : Google Image

Oleh Imron Supriyadi

Suatu ketika, di tahun 2008. Saya bersama keluarga mau pulang mudik lebaran. Tujuannya ke kampung halaman isteri saya di Desa Sukaraja Muaradua Kisam OKU Selatan. Jarak tempuh dari Palembang sekitar 300-an kilo meter. Tetapi kali itu saya berangkat dari Tanjung Enim. Jarak tempuhnya sekitar 200 kilo meter, mamakan waktu sekitar 6 jam lebih sedikit untuk sampai di kampung.

Seperti tahun sebelumnya, saya bersama keluarga menggunakan angkutan umum. Jam Tujuh pagi saya sudah bersiap diri di Terminal Bantingan Tanjung Enim. Ada sejumlah angkutan umum yang menuju ke Simpang Meo, tempat perlintasan saya ke Baturaja dan langsung ke Muaradua Kisam OKU Selatan.

Biasanya, angkutan yang saya tumpangi berangkat jam delapan. Tetapi sampai jam delapan lebih lima belas menit belum juga berangkat. Isteri saya mulai gelisah. Anak saya juga mulai lelah menunggu keberangkatan. Hitung-hitungan waktu, jika berangkat jam sembilan, sudah dipastikan saya dan keluarga akan sampai di kampung sudah masuk waktu magrib. Ini tidak menguntungkan bagi perjalanan masuk kampung yang belum ada listrik dan jalan jelek.

Belum lagi, saya dan keuarga harus menunggu angkutan lain yang menuju ke Baturaja, baru berganti lagi angkutan ke Muaradua Kisam. Makin gelisah isteri saya. Sesekali dia tanya pada sopir dengan nada agak tinggi. Kekesalan itu kian tampak ketika jam delapan lebih tiga puluh menit belum juga berangkat. Hampir saja isteri saya akan memarahi sopir mobil, tetapi saya cegah, supaya suasana tidak makin keruh. Ini adalah risiko ikut angkutan orang. Harus ikut aturan main yang memiliki mobil.

Saya kemudian menenangkan isteri saya. Saya katakan pada isteri saya, hari ini kita akan melihat rahasia Tuhan, gerangan apa yang akan dilakukan Tuhan untuk saya dan keluarga dengan keterlambatan ini.

Tepat pukul sembilan saya dan keluarga baru berangkat. Diatas mobil, isteri saya sudah uring-uringan karena takut mobil angkutan yang menuju Baturaja sudah habis. Belum lagi angkutan umum yang masuk kampung kami. Jika sudah lebih dari jam lima sore, biasanya sudah tidak ada lagi yang mau masuk kampung kami. Selain jalannya terjal dan berliku, juga kegelapan di sepanjang jalan masuk kampung membuat ngeri setiap sopir untuk balik kembali keluar kampung.

Ada sekitar tiga puluh menit saya dan isteri tidak berdialog. Kami berdua bermain dalam pikirannya masing-masing. Saya terus menunggu kebijakan Tuhan, apa yang bakal terjadi dengan keterlambatan ini. Sementara isteri saya hanya memandang keluar sembari membuang kekesalan. Anak saya sudah lelap dipangkuan isteri saya lima menit yang lalu.

Belum sempat kami melepas kekakuan antara saya dan isteri, sebuah mobil jenis L300, Travel ke Muaradua Kisam meluncur dan mendahului angkutan yang membawa kami. Persis di depan kami, travel itu berhenti dan menanyakan tujuan kami. Secara spontanitas, kami jawab saja kalau kami mau ke Muaradua Kisam. Sopir Travel seketika itu langsung mengajak saya dan keluarga untuk pindah mobil, setelah sebelumnya saya membayar angkutan yang kami tumpangi dari Tanjung Enim.

Setelah naik travel yang menuju ke Muaradua Kisam, saya memandang ke isteri saya. Ada keceriaan yang seketika menyeburat diwajahnya. Ia pandang saya dengan rasa bersalah.

Ada kesadaran yang datang tiba-tiba bahwa Tuhan tengah menguji kesabaran saya dan isteri saya. Sebab, dalam sejarah perjalanan antara Tanjung Enim ke Muaradua Kisam, tidak ada izin trayek yang membolehkan angkutan langsung ke Muaradua Kisam. Tetapi hari itu kami mendapatkannya.

Biasanya, semua jalur ke Muaradua Kisam harus melalui transit tiga kali ganti angkutan. Dari Tanjung Enim ke Simpang Meo, kemudian ke Baturaja, baru ke Muaradua Kisam, dan dilanjutkan masuk kampung dengan mobil angkutan desa atau dengan ojek. Tetapi kali itu, saya dan isteri saya cukup dua kali ganti angkutan.

Dengan menggunakan jasa Travel, perjalanan kami lebih cepat dari perkiraan semula. Dalam hitungan normal, seharusnya kami sampai di Muaradua Kisam jam enam sore. Tetapi kali itu, saya dan keluarga sudah sampai di kampung jam empat sore, dua jam lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.

Dari perjalanan keterlambatan keberangkatan saya ke kampung, isteri saya baru menyadari, ternyata keterlambatan dari Tanjung Enim adalah skenario dari Tuhan, agar kami bisa bertemu dengan Travel ke Muaradua Kisam, yang selama ini tidak ada jalur izin trayeknya.

Ini bukan faktor kebetulan, sebab dalam rumus Tuhan tak ada faktor kebetulan. Bukan pula faktor nasib, tetapi apapun yang saya temui kali itu adalah skenario dari langit, agar saya dan isteri lebih cepat sampai di kampung dan bertemu dengan orang tua yang telah sekian lama merindukan kami.

Keterlambatan yang saya alami, sangat mungkin terjadi pada anda. Bisa dalam bentuk kemacetan lalulintas, mobilnya mogok, ban bocor, atau apa saja. Tetapi yakinlah bahwa itu adalah skenario dari langit yang dibelakang waktu kemudian pasti ada petikan hikmah, yang terkadang tidak kita sadari.

Bisa jadi, kemacetan itu sebagai pesan kasih sayang Tuhan pada anda agar anda terselamatkan dari kecelakaan, atau bisa juga agar anda mendapatkan kondisi yang lebih baik dari pada anda datang lebih awal, tetapi anda justeru mendapati peristiwa yang buruk dan membuat anda tidak nyaman.

Tuhan Maha mengetahui, tentang bagaimana memberikan keselamatan dan kebaikan pada hamba-Nya, apakah harus melalui keterlambatan perjalanan,  melalui kemacetan atau melalui ban bocor dan lain sebagainya. Tidak ada sesuatu apapun yang menjadi ketentuan Tuhan itu buruk bagi kita, sebab Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi kita, meskipun terkadang dimata kita terasa buruk dan menjengkelkan.**

Tanjung Enim, 2008

Tinggalkan komentar