Jangan Biarkan Tuhan Mengutus Pencuri?

1

Ilustrasi : Google Image

Dalam keseharian, kita tentu tidak asing lagi dengan kata maling, pencuri dan sejenisnya. Dan pada kenyataannya, di saat kita menjadi korban pencurian, perampokan atau pencopetan di pasar atau dimana saja, yang terbersit dalam benak kita adalah kekesalan, hujatan dan  mungkin kata-kata kasar yang akan keluar dari mulut kita. Ini adalah watak dasar kemanusiaan kita. Sebab, sekecil apapun barang atau benda yang kita miliki, pasti akan kita jaga, kita pelihara, jangan sampai ada seseorang yang mencuri dari kepemilikan kita.

Sehingga, kalau saja kita sedang memiliki sebuah mutiara, pasti kita akan simpan mutiara itu di dalam lemari. Dan Lemari itu kita masukkan ke dalam kamar, lalu kamar itu kita kunci. Setelah itu, kita pun menutup rumah, dan rumahpun kita kunci kembali, agar mutiara yang kita miliki tidak diambil oleh pencuri. Itulah kedirian kita, yang selalu “takut” kehilangan dengan benda atau barang yang kita cintai.

Tetapi, kecintaan yang berlebihan terhadap barang atau benda, sering membuat kita lengah atau lupa, bahwa di dalam benda, barang atau kekayaan yang kita miliki, ada hak orang lain yang mungkin sampai saat ini belum diberikan kepada yang berhak menerima. Sehingga, disadari atau tidak, di saat kita sedang menumpuk-numpuk kekayaan, kadang kesadaran kita untuk berbagi kesejehteraan kepada orang lain menjadi terlupa. Dan di saat kelupaan itu menjalar dalam gerak hati kita, sebenarnya kita juga sedang mengundang pencuri untuk datang ke rumah kita.

Pada zaman Khalifah Umar Bin Khatab, ada seorang nenek beranak tujuh. Tubuhnya renta, rumahnya hanya terbuat dari dahan-dahan korma. Di situlah sang nenek berteduh bersama ketujuh anaknya. Di suatu malam, salah satu diantara anaknya, ada yang merintih kelaparan. Ia menangis menahan perih dan haus. Sementara, sang nenek hidup di tengah penduduk yang cukup berada.

Tanpa lebih dulu izin dengan anak-anaknya, sang nenek terpaksa harus mencuri segenggam gandum di sebuah rumah juragan kaya, yang tak jauh dari rumahnya. Naas, sang nenek tertangkap basah oleh para pengawal gudang sang Juragan. Kasus pencurian ini, kemudian dilaporkan kepada Khalifah Umar. Paginya, sang nenek menjadi terdakwa dalam kasus pencurian.

“Wahai Nenek, benarkah  engkau telah mencuri gandum di rumah Juragan?” Majelis  Hakim mulai membuka sidang. Sang nenek  hanya mengangguk.

“Kenapa kau mencuri?”

“Karena anak saya kelaparan!”

“Apakah Juragan tidak bernah memberikan sedekah kepadamu?”

Nenek hanya menggeleng.

“Berapa Kali kamu sudah melakukan pencurian?”

“Satu kali”, Jawabnya pendek.

“Lalu Kau Juragan! Apakah kau mengetahui, kalau di sebelah rumahmu ada seorang nenek yang kelaparan bersama anak-anaknya?”

“Ya, saya tahu”!

“Kenapa kau tidak pernah memberikan sedikit gandum untuk nenek yang tak berdaya ini?”

Juragan  hanya diam.

Persidangan berjalan cukup alot. Setelah semua cukup, akhirnya Khalifah memberikan keputusan. Bukan sang nenek yang menerima hukuman, tetapi sang Juraganlah yang harus menerima hukuman, akibat lalai terhadap tetangganya.

Kisah nenek dan sang Juragan, adalah cermin bagi kita. Mungkin, selama ini, kita masih menjelma seperti sang Juragan, sehingga secara tidak sadar, kita sudah membiarkan maling itu mencuri haknya yang terampas. Sebab, disaat seorang maling melakukan pencurian, bisa saja, sebagai wujud, bahwa ternyata, kita masih terlalu “cinta” dengan kekayaan yang kita miliki, sehingga kita melupakan hak orang lain, yang seharusnya kita berikan, sekalipun itu hanya segenggam gandum atau beras.

Maka jangan biarkan Tuhan “mengutus” pencuri untuk mengambil haknya, hanya lantaran kita tidak pernah memberikan sedikitpun harta yang kita miliki. Sebab, mencuri atau menjadi maling, tentu bukan pilihan hidup, tetapi sebagai akibat dari rendahnya kepedulian antar sesama, atau sistem yang tidak berjalan secara adil dan merata, kemudian mendorong orang menjadi maling. Mereka mencuri, atau menjadi maling, karena ada hak yang terampas oleh sebuah otoritas dan keangkuhan kita.**

Palembang, 2002

Satu komentar di “Jangan Biarkan Tuhan Mengutus Pencuri?

  1. Ping-balik: Krisis Ideologi Perfilman Nasional | PROVOKATOR INDONESIA

Tinggalkan komentar